Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) adalah program
yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan deajat kesehatan bayi di
Indonesia. Imunisasi ini diberikan mulai dari bayi baru lahir (hepatitis
B) sampai berumur 9 bulan (campak). LIL ini sendiri terdiri dari
imunisasi HBV, BCG, DPT, Polio dan Campak.
Imunisasi BCG
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. BCG ulangan tidak dianjurkan karena keberhasilannya diragukan. Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL. Vaksin ini mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis.
Kontraindikasi untuk vaksinasi BCG adalah penderita gangguan sistem
kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang
menjalani pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).
Reaksi yang mungkin terjadi:
- Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
- Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah:
- Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.
- Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.
Imunisasi HBV
Imunisasi HBV memberikan kekebalan terhadap Hepatitis B. Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Dosis pertama diberikan segera setelah bayi lahir atau jika ibunya memiliki HBsAg negatif, bisa diberikan pada saat bayi berumur 2 bulan. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1 bulan antara suntikan HBV I dengan HBV II, serta selang waktu 5 bulan antara suntikan HBV II dengan HBV III. Imunisasi ulangan diberikan 5 tahun setelah suntikan HBV III. Sebelum memberikan imunisasi ulangan dianjurkan untuk memeriksa kadar HBsAg. Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha.
Kepada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, diberikan
vaksin HBV pada lengan kiri dan 0,5 mL HBIG (Hepatitis B
immune globulin) pada lengan kanan, dalam waktu 12 jam setelah
lahir. Dosis kedua diberikan pada saat anak berumur 1-2 bulan, dosis
ketiga diberikan pada saat anak berumur 6 bulan. Kepada bayi yang lahir
dari ibu yang status HBsAgnya tidak diketahui, diberikan HBV I dalam
waktu 12 jam setelah lahir. Pada saat persalinan, contoh darah ibu
diambil untuk menentukan status HBsAgnya; jika positif, maka segera
diberikan HBIG (sebelum bayi berumur lebih dari 1 minggu).
Pemberian imunisasi kepada anak yang sakit berat sebaiknya ditunda
sampai anak benar-benar pulih. Vaksin HBV dapat diberikan kepada ibu
hamil. Efek samping dari vaksin HBV adalah efek lokal (nyeri di tempat
suntikan) dan sistemis (demam ringan, lesu, perasaan tidak enak pada
saluran pencernaan), yang akan hilang dalam beberapa hari.
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal.
Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang
ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang
melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat
menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas,
makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius,
seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak.
Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada
rahang serta kejang. Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa
diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin
DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan
atau paha.
Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur
2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu
tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun
setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak
mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya
diberikan DT, bukan DPT.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin Td pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena
vaksin hanya memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun
perlu diberikan booster). Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3
kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memperoleh
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping
tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin.
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:
- demam tinggi (lebih dari 40,5o Celsius)
- kejang
- kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
- demam tinggi (lebih dari 40,5o Celsius)
- kejang
- kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
- syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu
ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah
mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya
bisa dikendalikan.
1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam
ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk
mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau
ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa
dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan
maupun tungkai yang bersangkutan.
Imunisasi DT
Imunisasi DT memberikan kekebalan aktif terhadap toksin yang dihasilkan oleh kuman penyebab difteri dan tetanus. Vaksin DT dibuat untuk keperluan khusus, misalnya pada anak yang tidak boleh atau tidak perlu menerima imunisasi pertusis, tetapi masih perlu menerima imunisasi difteri dan tetanus. Cara pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan imunisasi DPT. Vaksin disuntikkan pada otot lengan atau paha sebanyak 0,5 mL.
Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sedang sakit berat
atau menderita demam tinggi. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
demam ringan dan pembengkakan lokal di tempat penyuntikan, yang biasanya
berlangsung selama 1-2 hari.
Imunisasi Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (tampek). Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih. Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan diulangi 6 bulan kemudian. Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL.
Kontra indikasi pemberian vaksin campak:
- infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38o Celsius
- gangguan sistem kekebalan
- pemakaian obat imunosupresan
- alergi terhadap protein telur
- hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin
- wanita hamil.
- infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38o Celsius
- gangguan sistem kekebalan
- pemakaian obat imunosupresan
- alergi terhadap protein telur
- hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin
- wanita hamil.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis
dan gejala kataral serta ensefalitis (jarang).
Imunisasi Polio
Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
- IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan
- OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV)
dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan
diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk
SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia
umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes
(0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang
berisi air gula.
Kontra indikasi pemberian vaksin polio:
- Diare berat,
- Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid), dan
- Kehamilan.
- Diare berat,
- Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid), dan
- Kehamilan.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan
kejang-kejang. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon
kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan
untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang tertingiu.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang dewasa
tidak perlu dilakukan pemberian booster secara rutin, kecuali
jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih banyak ditemukan.
Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan
perlu menjalani imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV. Kepada orang
yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah
pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh
diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem
kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia,
kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga
diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi
kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya.
IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang
menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi
ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan
kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya
selama beberapa hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar